Ketika menulis lagu “The End”, Paul McCartney ingin lagu tersebut diakhiri bait yang penuh arti, layaknya yang dibuat Shakespeare, dan hasilnya dia mendapatkan sebuah baris indah yang kini ramai dikutip orang di mana-mana:
“And, in the end, the love you take/ Is equal to the love you make.”
Baris tersebut terasa sangat indah untuk didengar maupun dilafalkan. Baris yang taat akan kaidah rima ini sungguh serasi untuk didengungkan. Goenawan Mohamad pernah bilang bahwa rima itu tak bisa dipaksakan. “Yang terbagus (seperti sajak Chairil), rima terbit dari rasa. Rasa yang menemukan ‘bunyi’,” katanya. Baris McCartney persis terasa seperti itu.
Tapi jauh di balik nilai seni yang terkandung, ada hal yang tak kalah penting: baris tersebut mengandung makna filosofis yang dalam.
McCartney—entah sadar atau tidak—sedang memberitahu kita tentang keseimbangan dalam hidup. Setiap tindakan melahirkan konsekuensi. Setiap usaha akan menerbitkan hasil. Setiap kejahatan telah ditunggu oleh ganjarannya masing-masing.
McCartney merangkum kekompleksan hukum sebab-akibat tersebut dalam sebuah analogi bernama cinta. Mungkin karena hanya cintalah yang dapat mencakup semua elemen sebab-akibat yang ada di muka bumi, atau jawabannya sesederhana: karena cinta mudah untuk dikomersialisasi.
Yang jelas, The Beatles memang sering menulis lagu cinta.
Namun, adakah kiranya yang dapat mengambil pelajaran dari sepenggal lirik terkenal ini untuk sebuah keputusan dari suatu permasalahan yang mempertaruhkan jiwa dari banyak manusia?
Memang belum tentu McCartney punya niat untuk menggurui ketika menciptakan baris terkenal itu. Bisa saja dia hanya sedang meracau dan sontak mendapatkan sebuah wangsit dari yang gaib. Tapi seharusnya, pelajaran tidak harus diambil berdasarkan niat dari yang mengajarkannya.
Ada sebuah cerita sedih dari negeri Jepang. Beberapa hari yang lalu, negeri mereka dilanda bencana gempa bumi dahsyat yang disebut Perdana Menteri Naoto Kan sebagai “krisis terberat dan tersulit Jepang dalam 65 tahun setelah akhir Perang Dunia II”. Imbas dari gempa tersebut tidaklah kecil: Pulau Honshu bergerak 2,4 meter ke timur; sumbu aksis bumi bergeser 10 cm; dan—salah satu dampak terbesar dan yang paling ditakutkan umat manusia—kebocoran radioaktif dari Pembangkit Tenaga Nuklir Fukushima I (sering disebut juga sebagai Fukushima Dai-ichi).
Awalnya, terjadi kegagalan dalam sistem pendingin di Dai-ichi. Kegagalan ini dapat berakibat fatal seperti terjadinya panas yang berlebih pada reaktor. Ketika kebocoran terjadi, ratusan ribu lebih warga langsung dievakuasi untuk diamankan dari polusi radioaktif.
Hal ini mengingatkan dunia pada memori buruk Chernobyl (1986). Ketika itu, terjadi kecelakaan nuklir (yang bermula dari sebuah uji sistem yang dilakukan di reaktor nomor 4). Kecelakaan tersebut kemudian menimbulkan krisis berkepanjangan (termasuk penyakit-penyakit genetik yang tak bisa disembuhkan) bagi Uni Soviet (sekarang Ukraina) yang—dipercaya banyak orang—menjadi salah satu faktor terkuat yang menentukan keruntuhan Uni Soviet.
Ketika orang berbicara nuklir, mulanya orang berbicara tentang energi yang sangat besar dari materi yang sangat kecil. Nuklir seakan memberi solusi bagi permasalahan energi di bumi yang tak mau terus menerus menguras “nenek moyang” kita yang sudah berbentuk fosil. Nuklir juga awalnya dianggap “ramah lingkungan” karena bebas dari “polusi”.
Namun, McCartney benar, pada akhirnya, semuanya adalah seimbang.
Dari proses pemisahan inti uranium tersebut, kita bisa mendapatkan energi yang nantinya bisa menghidupi satu kota penuh dengan segala kegemerlapan malam, tanyangan televisi tanpa henti, dan industri yang terus menopang ekonomi. Tapi kita juga tak boleh terlena, energi bagaikan sebuah singa ganas, yang ketika berhasil dijinakkan bisa membawa rasa aman, namun ketika gagal, boleh jadi dia malah balik menyerang. Dan tidak seluruh umat manusia sudah yakin bahwa kita telah berhasil menjinakkan “seekor singa yang ganas” yang berwujud nuklir.
Tapi waktu yang terus bergulir memaksa kita untuk terus membakar minyak dan batu bara, sementara keadaan ini tak bisa terus dibiarkan! Persediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis akibat terus digerus membuat kita harus menentukan sikap secara cepat. Entah didasari dengan matang atau sekedar nekat, akhirnya dunia berani bermain-main dengan nuklir.
Setelah Chernobyl, dunia teringat kembali akan keganasan dari “raja hutan” yang satu ini. Nuklir bukan sebuah permen lolipop yang bisa dihisap tanpa perlu takut sewaktu-waktu bakal meledak. Nuklir harus digunakan dengan penuh waspada.
Dan ketika dunia sudah merasa cukup waspada, alamlah yang bergerak. Dia “bangunkan” si “singa ganas” dari tidurnya. Membuat dunia kembali porak poranda. Dilanda ketakutan akan kanker atau kemandulan.
Dengan terjadinya kecelakaan nuklir di Fukushima Dai-ichi, gelombang protes antinuklir mulai ramai dikoarkan oleh para pecinta kedamaian. Mereka menuntut dihapuskannya nuklir dari dunia. Sebuah bentuk protes yang peduli, namun apakah yang mereka koarkan telah mampu menjawab permasalahan energi dunia?
Kini dunia sedang dipaksa untuk memilih. Entah mana yang bakal dipilih pada akhirnya, yang jelas, pesan McCartney sudah tegas: pada akhirnya, semuanya akan seimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar