Jumat, 09 Maret 2012

Ketika menulis lagu “The End”, Paul McCartney ingin lagu tersebut diakhiri bait yang penuh arti, layaknya yang dibuat Shakespeare, dan hasilnya dia mendapatkan sebuah baris indah yang kini ramai dikutip orang di mana-mana: “And, in the end, the love you take/ Is equal to the love you make.” Baris tersebut terasa sangat indah untuk didengar maupun dilafalkan. Baris yang taat akan kaidah rima ini sungguh serasi untuk didengungkan. Goenawan Mohamad pernah bilang bahwa rima itu tak bisa dipaksakan. “Yang terbagus (seperti sajak Chairil), rima terbit dari rasa. Rasa yang menemukan ‘bunyi’,” katanya. Baris McCartney persis terasa seperti itu. Tapi jauh di balik nilai seni yang terkandung, ada hal yang tak kalah penting: baris tersebut mengandung makna filosofis yang dalam. McCartney—entah sadar atau tidak—sedang memberitahu kita tentang keseimbangan dalam hidup. Setiap tindakan melahirkan konsekuensi. Setiap usaha akan menerbitkan hasil. Setiap kejahatan telah ditunggu oleh ganjarannya masing-masing. McCartney merangkum kekompleksan hukum sebab-akibat tersebut dalam sebuah analogi bernama cinta. Mungkin karena hanya cintalah yang dapat mencakup semua elemen sebab-akibat yang ada di muka bumi, atau jawabannya sesederhana: karena cinta mudah untuk dikomersialisasi. Yang jelas, The Beatles memang sering menulis lagu cinta. Namun, adakah kiranya yang dapat mengambil pelajaran dari sepenggal lirik terkenal ini untuk sebuah keputusan dari suatu permasalahan yang mempertaruhkan jiwa dari banyak manusia? Memang belum tentu McCartney punya niat untuk menggurui ketika menciptakan baris terkenal itu. Bisa saja dia hanya sedang meracau dan sontak mendapatkan sebuah wangsit dari yang gaib. Tapi seharusnya, pelajaran tidak harus diambil berdasarkan niat dari yang mengajarkannya. Ada sebuah cerita sedih dari negeri Jepang. Beberapa hari yang lalu, negeri mereka dilanda bencana gempa bumi dahsyat yang disebut Perdana Menteri Naoto Kan sebagai “krisis terberat dan tersulit Jepang dalam 65 tahun setelah akhir Perang Dunia II”. Imbas dari gempa tersebut tidaklah kecil: Pulau Honshu bergerak 2,4 meter ke timur; sumbu aksis bumi bergeser 10 cm; dan—salah satu dampak terbesar dan yang paling ditakutkan umat manusia—kebocoran radioaktif dari Pembangkit Tenaga Nuklir Fukushima I (sering disebut juga sebagai Fukushima Dai-ichi). Awalnya, terjadi kegagalan dalam sistem pendingin di Dai-ichi. Kegagalan ini dapat berakibat fatal seperti terjadinya panas yang berlebih pada reaktor. Ketika kebocoran terjadi, ratusan ribu lebih warga langsung dievakuasi untuk diamankan dari polusi radioaktif. Hal ini mengingatkan dunia pada memori buruk Chernobyl (1986). Ketika itu, terjadi kecelakaan nuklir (yang bermula dari sebuah uji sistem yang dilakukan di reaktor nomor 4). Kecelakaan tersebut kemudian menimbulkan krisis berkepanjangan (termasuk penyakit-penyakit genetik yang tak bisa disembuhkan) bagi Uni Soviet (sekarang Ukraina) yang—dipercaya banyak orang—menjadi salah satu faktor terkuat yang menentukan keruntuhan Uni Soviet. Ketika orang berbicara nuklir, mulanya orang berbicara tentang energi yang sangat besar dari materi yang sangat kecil. Nuklir seakan memberi solusi bagi permasalahan energi di bumi yang tak mau terus menerus menguras “nenek moyang” kita yang sudah berbentuk fosil. Nuklir juga awalnya dianggap “ramah lingkungan” karena bebas dari “polusi”. Namun, McCartney benar, pada akhirnya, semuanya adalah seimbang. Dari proses pemisahan inti uranium tersebut, kita bisa mendapatkan energi yang nantinya bisa menghidupi satu kota penuh dengan segala kegemerlapan malam, tanyangan televisi tanpa henti, dan industri yang terus menopang ekonomi. Tapi kita juga tak boleh terlena, energi bagaikan sebuah singa ganas, yang ketika berhasil dijinakkan bisa membawa rasa aman, namun ketika gagal, boleh jadi dia malah balik menyerang. Dan tidak seluruh umat manusia sudah yakin bahwa kita telah berhasil menjinakkan “seekor singa yang ganas” yang berwujud nuklir. Tapi waktu yang terus bergulir memaksa kita untuk terus membakar minyak dan batu bara, sementara keadaan ini tak bisa terus dibiarkan! Persediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis akibat terus digerus membuat kita harus menentukan sikap secara cepat. Entah didasari dengan matang atau sekedar nekat, akhirnya dunia berani bermain-main dengan nuklir. Setelah Chernobyl, dunia teringat kembali akan keganasan dari “raja hutan” yang satu ini. Nuklir bukan sebuah permen lolipop yang bisa dihisap tanpa perlu takut sewaktu-waktu bakal meledak. Nuklir harus digunakan dengan penuh waspada. Dan ketika dunia sudah merasa cukup waspada, alamlah yang bergerak. Dia “bangunkan” si “singa ganas” dari tidurnya. Membuat dunia kembali porak poranda. Dilanda ketakutan akan kanker atau kemandulan. Dengan terjadinya kecelakaan nuklir di Fukushima Dai-ichi, gelombang protes antinuklir mulai ramai dikoarkan oleh para pecinta kedamaian. Mereka menuntut dihapuskannya nuklir dari dunia. Sebuah bentuk protes yang peduli, namun apakah yang mereka koarkan telah mampu menjawab permasalahan energi dunia? Kini dunia sedang dipaksa untuk memilih. Entah mana yang bakal dipilih pada akhirnya, yang jelas, pesan McCartney sudah tegas: pada akhirnya, semuanya akan seimbang.


Kehidupan mana yang tak butuh air? Jika mungkin seekor onta tidak memerlukan pispot seperti halnya sekumpulan panda yang sama sekali tidak butuh sebuah pengraut pensil, tidak mungkin ada makhluk hidup yang tak butuh air. Setiap makhluk hidup pasti butuh air.
Untungnya Bumi punya banyak stok air. Hujan yang turun, sungai yang mengalir, serta danau yang tergenang menyediakan inti terpenting dalam kelangsungan kehidupan. Sayangnya, tidak setiap sudut di Bumi memiliki air yang berlimpah.
Sahara bukan untuk manusia
Bayangkan sebuah hamparan pasir yang begitu luas. Sesekali ada batu-batu besar yang tinggi menjulang, selebihnya tidak ada apa-apa di sana. Hanya hamparan pasir yang membentang, entah di mana batasnya.
Angin kering bertiup tidak membuat sejuk, sapuannya malah membuat kulit perih dilewati butiran pasir yang kecil namun tajam. Belum lagi dengan teriknya matahari dan tiadanya payung di sana, apalagi pohon rindang. Mungkin inilah yang dinamakan neraka dunia: Sahara.
Gurun pasir sama sekali tidak terlihat layak untuk ditinggali manusia. Alamnya yang ganas seakan merupakan bentuk pengusiran bagi setiap anak Adam yang hendak berkunjung ke sana. Sahara tidak menerima manusia.
Inti yang terpenting adalah air. Tanpa air, manusia tak akan mungkin bertahan hidup.
Benarkah tidak ada manusia di Sahara?
Di Libya barat daya, ada sebuah kawasan bernama Fezzan yang konon pernah dihuni oleh sekitar 100.000 manusia pada rentang masa antara 500 SM sampai 500 M. Jumlah ini adalah jumlah yang sangat banyak, apalagi untuk sebuah kawasan minim air seperti itu. Lalu, bagaimana manusia-manusia itu mampu bertahan hidup?
Jawabannya didapat dengan menggunakan pencitraan radar yang diambil dari luar angkasa. Sulit dibayangkan, Fezzan yang kini hanyalah hamparan pasir tandus dengan angin kering di mana-mana, dulunya merupakan sebuah danau raksasa yang seluas Inggris. Danau ini lantas dinamakan Danau Megafezzan.
Butiran permata di tengah gurun (foto © Dr. Simon Armitage, University of Oxford)
Setelah dilakukan observasi langsung, ternyata memang lokasi yang dulunya merupakan Danau Megafezzan dipenuhi dengan banyak batuan permata—beberapa berwarna ungu, sebagian lagi berwarna jingga akibat pengaruh mineral dan ganggang.
Danau inilah yang menjadi sumber air bagi sekelompok umat manusia yang pernah bersemayam di sana dulu.
Siklus kosong-isi Danau Megafezzan
Danau Megafezzan pernah menggenangi sebagian wilayah Sahara kurang lebih 200.000 tahun silam. Ketika itu curah hujan di sana masih tinggi.
Fezzan ketika masih basah (gambar oleh Nick Drake)
Air selalu menarik perhatian manusia. Akhirnya, 130.000 tahun silam mulai bermukimlah manusia pertama penghuni Fezzan. Namun alam tidak sepenuhnya ramah terhadap penghuni Fezzan. 70.000 tahun silam, manusia dipaksa mengungsi lagi akibat curah hujan mulai menurun lagi. Sejak masa itu, tingkat curah hujan di sekitar Danau Megafezzan menjadi tidak menentu. Hal itu jugalah yang menyebabkan manusia perlu untuk bolak-balik bermigrasi seiring perubahan iklim di sana.
Namun manusia tidak mau sepenuhnya bergantung pada alam. Mereka akhirnya meninggalkan pola berburu yang selama ini mereka jalani. Mereka mulai beternak, kemudian bertani. Sampai terbentuklah sebuah peradaban manusia di sana yang bernama Garamantian.
Masyarakat Garamantian hidup pada masa sejak kurang-lebih 5.000 tahun yang lalu. Mereka mengalami iklim yang serupa dengan kondisi Sahara saat ini. Namun mereka mampu menyiasati kekurangan air yang mereka alami dengan cerdik.
Mereka sudah sanggup membuat irigasi oase.
Dengan sistem irigasi yang mereka terapkan, mereka mampu mengaliri lahan-lahan mereka yang telah ditanami dengan berbagai budi daya tanam seperti kurma atau gandum. Mereka mengambil air dari air tanah dengan kanal bawah tanah yang dinamakan foggara/fughara. Sebuah tantangan besar untuk memastikan air yang diambil tidak berkurang akibat penguapan mengingat teriknya matahari tidak kenal ampun.
Memang—pada akhirnya—masyarakat Garamantian mati juga. Air tanah hasil tampungan hujan selama berribu-ribu tahun di sana akhirnya habis dipakai untuk keperluan irigasi. Pada masa itu, peradaban purba itu akhirnya runtuh. Namun—setidaknya—mereka telah mencoba melawan kerasnya alam sebelum akhirnya menyerah dan mati.
Garamantian tidak begitu saja menyerah pada keadaan.
Sudut lain dunia tempat air melimpah di sana
Lain lagi dengan Indonesia.
Indonesia beruntung punya alam yang tak seganas Sahara. Bahkan, alam di Indonesia terlalu ramah pada manusia-manusia penghuninya. Pohon-pohon tumbuh di mana-mana, tanahnya subur, dan hujan tak pernah absen terlalu lama dalam setahun.
Sawah hijau yang banyak ditemui di Indonesia (foto oleh Samuel Matthews, © 2005 National Geographic Society)
Makanya orang Indonesia makan nasi. Nasi adalah makanan pokok yang paling banyak membutuhkan air untuk penyajiannya hingga masak dan siap santap. Makanan paling cocok untuk negara yang diguyur hujan terus sepanjang tahunnya (kecuali beberapa daerah bagian timur).
Namun, apakah ini yang membuat kita menjadi bangsa yang pemalas? Tidak seperti masyarakat Garamantian yang perlu untuk berjuang dulu untuk bisa bertahan hidup kemudian.
Hanya karena telah mendapatkan pelayanan yang begitu enak dari Tuhan, tidak berarti kita tak butuh untuk berkembang, bukan? Indonesia yang terdiri dari hamparan tanah lempung atau pasir yang masing-masing ada gunanya tentu tak mau berhenti sebatas ini saja.
Seharusnya jika dengan kondisi alam serba terbatas, masyarakat Garamantian mampu bertahan hidup; Indonesia dengan kondisi alam serba berlebih harusnya mampu untuk swasembada pangan. Akan tetapi, kapan kita terakhir kali swasembada pangan?
Modal kita sudah banyak, kenapa kita masih tidak mau untuk maju? Karena jika kita tidak mau mengantisipasi kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, bukan tidak mungkin kita bakal binasa seperti peradaban Garamantian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar