Tak ada yang benar-benar tahu, siapa dalang di balik pemberontakan terhadap rezim Qaddafi di Libya. Mungkin, jawaban yang paling tepat adalah semua ini merupakan kehendak Tuhan Y.M.E.
Pemberontakan di Libya dipicu oleh gelombang protes yang memang sedang marak terjadi di Timur Tengah. Suksesnya revolusi terdahulu yang terjadi di Tunisia dan Mesir (yang masing-masing berhasil melengserkan rezim yang telah berkuasa untuk waktu yang lama) mungkin telah menginspirasi golongan anti-Qaddafi untuk menerapkan hal yang serupa di Libya.
Para pemberontak menjadikan Benghazi sebagai markas pusat mereka. Sementara Qaddafi dan antek-anteknya masih menguasai Tripoli. Kini, Libya seakan terpecah dua: daerah barat yang pro-Qaddafi dan daerah timur yang anti-Qaddafi.
Qaddafi menyebut para pemberontak sebagai “germs“—”kuman”. Dengan penuh kepercayaan diri, dia mengatakan bahwa mereka tak sepadan dengan bala tentaranya.
Menurut kabel diplomatik AS yang dibocorkan oleh situs WikiLeaks (atau dikenal dengan namaCablegate), Qaddafi merupakan “seorang pengatur siasat ulung yang telah mendominasi negara dan suku-sukunya yang sukar dikendalikan selama empat dekade dengan berhasil memanipulasi setiap orang yang berada di sekitarnya”. Sebagai orang yang menjadi pemimpin Libya setelah melancarkan kudeta terhadap pemimpin sebelumnya, Raja Idris I, tentu Qaddafi tak akan mudah untuk digulingkan kembali.
Sementara para pemberontak adalah orang-orang yang tak jelas pada arah dan komando. Anthony Cordesman, seorang analis militer di Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berlokasi di Washington, berujar, “Yang kita punya, secara mendasar, adalah pemberontak dengan antusiasme yang besar dan mau menanggung risiko hidup mereka, namun tidak punya disiplin atau struktur.” Dan orang-orang seperti ini menghadapi jagoan perang seperti Kolonel Qaddafi.
Walau tak ada yang benar-benar tahu, kebanyakan orang akan menjawab tiga nama sebagai dalang dari revolusi melawan Qaddafi ini. Nama pertama adalah Abdel Fatah Younis, bekas Menteri Dalam Negeri kabinet Qaddafi. Yang kedua adalah Omar Hariri, jenderal yang pernah gagal menggulingkan Qaddafi pada revolusi di tahun 1975. Atau mungkin dia adalah Khalifa Heftir, seorang yang memang mahsyur sebagai “pahlawan oposisi” dan dikenal sebagai juru bicara pihak oposisi. Namun, para pemberontak kebanyakan tak akan begitu peduli pada siapa pemimpinnya, asal mereka semua berjuang untuk melawan yang satu: Sang Kolonel Qaddafi.
Sekilas, pihak oposisi terlihat lemah dibanding kekuatan Qaddafi dan para loyalis. Namun, pihak oposisi tak hanya mengandalkan kekuatan rakyat sipil yang sebelumnya belum pernah memegang AK-47 atau tentara yang membelot dan hanya berjumlah beberapa. Barat kini sudah ikut campur dalam konflik Libya. Bantuan dalam bentuk sokongan militer telah dikirimkan ke sana. Wujudnya bisa macam-macam: senjata, makanan, bahan bakar, atau pasukan. AS, Perancis, dan Inggris sudah mulai melemparkan bomnya di sana-sini.
Tentu, oposisi akan sangat terbantu dengan datangnya bantuan dari luar ini. Namun, ketulusan niat dari Barat dalam membantu menjadi dipertanyakan. Apakah dasar dari tindakan Barat dalam membantu revolusi Libya ini memang murni karena alasan kemanusiaan?
Banyak teori berkembang yang mengatakan bahwa fenomena di Libya saat ini mengukuhkan apa yang dinamakan paradoks “kutukan sumber daya”—yang terjadi di saat kekayaan hanya menjadi sumber petaka. Sebuah paradoks yang sering menjadi alasan utama para kolonial untuk menjajah tanah-tanah milik pribumi setempat, menguras segala apa yang ada di atas bumi maupun yang ada di bawahnya.
Seperti yang mungkin sedang terjadi di Libya saat ini. Gara-gara minyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar