Jumat, 09 Maret 2012

Cerita dari Sesisir Pisang


Pagi itu tak ada kudapan yang bisa kusantap sebagai sarapan. Aku malas pergi keluar. Ada mi instan yang akan masak dalam waktu tak lebih dari enam menit tapi katanya itu tak baik untuk kesehatan. Kutelusuri setiap sudut kamar. Kutemukan sesisir pisang cavendish tergeletak di lantai.
Tak biasanya aku sarapan dengan sebuah pisang. Tapi kurasa tak ada salahnya kalau mencobanya untuk pagi itu. Pisang—buah unik yang khas karena bentuknya yang melengkung—tidak hanya menjadi sarapanku pagi itu. Buah yang berbentuk seperti bulan sabit itu menjadi pengantar sebuah cerita untukku. Cerita yang mungkin saja bakal mengajarkan kita semua akan banyak hal.
Bahkan sesisir pisang pun bisa jadi guru.
*
Akhir 1950-an. Pengusaha yang tadinya makmur itu kian dirundung masalah. Perusahaannya sebentar lagi akan dinyatakan bangkrut. Kejatuhan ini sebenarnya sudah lama dia ramalkan, tapi ketamakannya membuat dia malas untuk mencoba berpikir antisipatif. Yang dia lakukan malah menambah, menambah, dan terus menambah jumlah produksi perusahaannya. Mencekoki mulut semua orang dengan pisang, buah melengkung yang berwarna kuning jika sudah matang. Salah satu dalam deretan buah-buah pertama yang bakal dikenalkan orang tua pada anaknya yang masih bayi.
Pisang adalah buah favorit. Dan Gros Michel atau “Big Mike” adalah kultivar yang paling banyak diekspor ke mancanegara, termasuk Amerika Serikat. Big Mike adalah primadona. Tak ada yang menandinginya. Tapi nyatanya, posisi primadona ini tidak permanen.
Petaka dimulai ketika sebuah penyakit ditemukan di Suriname. Penyakit ini dinamakan penyakit panama. Sasarannya adalah Big Mike. Penyakit panama sebenarnya adalah jamur. Fusarium oxysporum atau sering disebut “Agen Hijau” menyerang pembuluh kayu (xylem) dari berbagai jenis tanaman dan efeknya bisa sampai menimbulkan kematian.
Bencana ini kian terasa menjadi besar ketika penyakit tersebut sampai di Honduras, negara penghasil pisang terbesar pada masa itu. Dan awal keruntuhan era Big Mike pun dimulai.
Karena menurunnya produksi Big Mike akibat serangan penyakit panama, dunia sempat kekurangan stok pisang. Sampai muncul lagu “Yes! We Have No Bananas” yang terinspirasi dari kejadian ini. Bahkan akhirnya lagu ini menjadi hits. Dunia kalang kabut karena terlalu lama tidak makan pisang.
Dunia tidak mau terlalu lama tidak memakan pisang. Kekurangan stok Big Mike bukan berarti akhir dari kebiasaan masyarakat mengonsumsi makanan primata tersebut. Pisang tetap jadi favorit walaupun Big Mike sudah tidak lagi jadi primadona.
Mahkota primadona itupun bergeser pada pisang cavendish, pisang yang dianggap lebih resisten terhadap penyakit panama (walaupun konon rasanya kurang manis dibandingkan dengan Big Mike). Pisang yang sama pula dengan yang kumakan sebagai sarapan di suatu pagi.
*
Sudah cukup lama Cavendish tampil sebagai primadona di dunia perpisangan. Kultivar ini masih menjadi primadona sampai Michael Jackson meninggal dunia. Beberapa bulan setelahnya pun masih. Tapi entah dengan tahun.
Pada pertengahan 2008, ada laporan dari Sumatera dan Malaysia bahwa jenis pisang mirip-Cavendish ternyata rentan terhadap penyakit panama. Karena Cavendish cenderung dibudidayakan dengan cara reproduksi vegetatif konvensional daripada reproduksi seksual, maka secara genetik tanaman ini identik. Jadi, tanaman tidak akan berkembang menjadi lebih resisten terhadap penyakit panama. Penyakit panama tetap menjadi momok mengerikan bagi industri pisang dunia.
Musuh yang sama, kasus yang berbeda. Kini berbagai langkah coba ditempuh untuk mengantisipasi jika kasus Big Mike terulang lagi pada Cavendish. The Honduras Foundation for Agricultural Research (FHIA) telah mencoba mengkawinsilangkan berbagai jenis pisang dalam beberapa dekade terakhir. Hasilnya cukup memuaskan, pisang “baru” ini katanya dipastikan resisten terhadap penyakit yang menimpa Cavendish.
Lalu akankah era Cavendish berakhir seperti yang dialami Big Mike dulu? Akankah roda kehidupan berputar kembali?
Tahta primadona tetaplah tidak permanen.
*
Perputaran roda kehidupan ditemui di berbagai aspek di sana-sini. Pisang salah satunya. Buah ini juga menyimpan cerita kelam dalam sejarah budidayanya. Primadona pisang tidaklah permanen, seperti primadona dalam sebuah desa. Waktu akan berbicara dan menggulingkan yang di puncak kalau memang waktunya telah habis. Dan yang di puncak akan turun tanpa punya kekuatan lagi untuk melawan.
Terus berada di puncak memang tidak mungkin. Kita hidup hanyalah mengikuti ke mana arus membawa.
Jika arus itu mau menenggelamkan kita, mungkin kita bisa berenang ke permukaan agar itu tak terjadi. Tapi arus deras itu pasti akan jadi jinak dalam beberapa saat.
Jika hari ini kita penat, yakini esok akan jadi hari paling menggembirakan sedunia. Jika hari ini kita melakukan kebodohan, yakini besok kita akan menjadi lebih jenius dari Albert Einstein.
Hidup ini hanya soal bagaimana kita menjalaninya. Dan aku diajarkan hal ini oleh sesisir pisang cavendish.

Serba-Serbi tentang Coca-Cola


Siang itu matahari bersinar terik. Manusia-manusia yang berada di bawahnya merasakan panas sambil kepayahan. Sebagian dari mereka tahu, kalau teriknya matahari di hari akhir bakal berkali-kali lipat lebih dahsyat; tapi tetap saja, kebanyakan masih tetap mengutuk-ngutuk panasnya hari itu daripada mensyukuri panas yang “belum ada apa-apanya” itu dan berdoa.
Panas menyebabkan manusia-manusia tersebut bersimbah akan keringat yang terus mengocor sejak tadi. Kata dokter, setiap cairan tubuh mesti diganti.
Di dunia, mungkin lebih banyak yang tahu logo ini daripada bendera Brunei Darussalam
Banyak minuman yang dapat dipilih untuk jadi pengganti cairan tubuh hari itu, tapi aku memilih sesuatu yang lain. Di kala orang-orang kebanyakan memilih air mineral yang warnanya bening itu, pilihanku jatuh pada sebuah air berwarna hitam (yang kadang tampak berwarna cokelat keemasan ketika ditembusi cahaya) berbuih yang nampak sangat menyegarkan. Nama minuman tersebut adalah Coca-Cola, minuman menyegarkan yang punya segudang fakta di baliknya sebagai berikut:
  1. Nama Coca-Cola punya makna. “Coca” diambil dari kata cocaine–kokain, salah satu komposisi awal Coca-Cola yang dulunya didapat dari daun koka. Selain cocaine, Coca-Cola juga terdiri daricaffeine yang didapat dari kacang kola (huruf “K” diganti dengan huruf “C” karena pertimbangan pemasaran semata).
  2. Asal-muasal minuman ini adalah dari seorang apoteker bernama John Pemberton. Dia mengkreasikan minumannya sendiri yang diberi nama Pemberton’s French Wine Coca, sebuah minuman coca wine yang merupakan campuran koka, kacang kola, dan damiana.
    John Pemberton dengan jenggot yang begitu lebat
  3. Tapi kemudian muncul larangan baru yang membatasi jumlah minuman beralkohol di Atlanta pada 1886, hal ini membuat Pemberton harus memikirkan ulang formula Pemberton’s French Wine Coca-nya.
  4. Dari sana, muncullah ide Coca-Cola. Versi non-alkohol dari Pemberton’s French Wine Coca.
  5. Coca-Cola menjadi populer. Saat itu, timbul pandangan di AS bahwa minuman berkarbonasi adalah “sehat”.
  6. “Sehat” yang dimaksud adalah Coca-Cola dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti sakit kepala, neuralgia, histeri, melankoli, dll.
  7. Balik ke masalah kokain, mungkin banyak yang kaget kalau ternyata Coca-Cola mengandung hal ini. Tapi–dulu–Coca-Cola memang mengandung kokain.
  8. Sampai ada yang bilang kalau formulanya adalah tiga bagian daun koka dan satu bagian kacang kola.
  9. Sampai sentimen publik terhadap kokain berubah di 1890-an. Saat itu banyak “kejahatan kulit hitam” yang dianggap disebabkan oleh kokain.
  10. Pada 1903, New York Tribune menulis artikel yang menghubungkan kokain dengan “kejahatan kulit hitam” dan menuntut tindakan hukum kepada Coca-Cola.
  11. Lalu, secara perlahan, Coca-Cola mulai mengganti penggunaan daun koka “segar” dengan daun koka “bekas”. Artinya kadar kokain yang terkandung menjadi lebih sedikit. Entah seberapa sedikit.
  12. Pada masa itu, Coca-Cola juga mulai mengganti imej “minuman menyehatkan”-nya menjadi “minuman menyegarkan”.
  13. Walaupun imej “minuman menyehatkan” sudah dihilangkan dari Coca-Cola, kini Coca-Cola dikenal sering menjadi sponsor dalam acara-acara olahraga. Mungkin mereka belum sepenuhnya mau menghilangkan imej tersebut. Secara kandungan, Coca-Cola boleh jadi tidak “menyehatkan”; tapi secara dampak?
Begitulah sedikit cerita tentang minuman hitam berbuih ini. Semoga menambah pengetahuan Saudara sekalian.

Ketika menulis lagu “The End”, Paul McCartney ingin lagu tersebut diakhiri bait yang penuh arti, layaknya yang dibuat Shakespeare, dan hasilnya dia mendapatkan sebuah baris indah yang kini ramai dikutip orang di mana-mana: “And, in the end, the love you take/ Is equal to the love you make.” Baris tersebut terasa sangat indah untuk didengar maupun dilafalkan. Baris yang taat akan kaidah rima ini sungguh serasi untuk didengungkan. Goenawan Mohamad pernah bilang bahwa rima itu tak bisa dipaksakan. “Yang terbagus (seperti sajak Chairil), rima terbit dari rasa. Rasa yang menemukan ‘bunyi’,” katanya. Baris McCartney persis terasa seperti itu. Tapi jauh di balik nilai seni yang terkandung, ada hal yang tak kalah penting: baris tersebut mengandung makna filosofis yang dalam. McCartney—entah sadar atau tidak—sedang memberitahu kita tentang keseimbangan dalam hidup. Setiap tindakan melahirkan konsekuensi. Setiap usaha akan menerbitkan hasil. Setiap kejahatan telah ditunggu oleh ganjarannya masing-masing. McCartney merangkum kekompleksan hukum sebab-akibat tersebut dalam sebuah analogi bernama cinta. Mungkin karena hanya cintalah yang dapat mencakup semua elemen sebab-akibat yang ada di muka bumi, atau jawabannya sesederhana: karena cinta mudah untuk dikomersialisasi. Yang jelas, The Beatles memang sering menulis lagu cinta. Namun, adakah kiranya yang dapat mengambil pelajaran dari sepenggal lirik terkenal ini untuk sebuah keputusan dari suatu permasalahan yang mempertaruhkan jiwa dari banyak manusia? Memang belum tentu McCartney punya niat untuk menggurui ketika menciptakan baris terkenal itu. Bisa saja dia hanya sedang meracau dan sontak mendapatkan sebuah wangsit dari yang gaib. Tapi seharusnya, pelajaran tidak harus diambil berdasarkan niat dari yang mengajarkannya. Ada sebuah cerita sedih dari negeri Jepang. Beberapa hari yang lalu, negeri mereka dilanda bencana gempa bumi dahsyat yang disebut Perdana Menteri Naoto Kan sebagai “krisis terberat dan tersulit Jepang dalam 65 tahun setelah akhir Perang Dunia II”. Imbas dari gempa tersebut tidaklah kecil: Pulau Honshu bergerak 2,4 meter ke timur; sumbu aksis bumi bergeser 10 cm; dan—salah satu dampak terbesar dan yang paling ditakutkan umat manusia—kebocoran radioaktif dari Pembangkit Tenaga Nuklir Fukushima I (sering disebut juga sebagai Fukushima Dai-ichi). Awalnya, terjadi kegagalan dalam sistem pendingin di Dai-ichi. Kegagalan ini dapat berakibat fatal seperti terjadinya panas yang berlebih pada reaktor. Ketika kebocoran terjadi, ratusan ribu lebih warga langsung dievakuasi untuk diamankan dari polusi radioaktif. Hal ini mengingatkan dunia pada memori buruk Chernobyl (1986). Ketika itu, terjadi kecelakaan nuklir (yang bermula dari sebuah uji sistem yang dilakukan di reaktor nomor 4). Kecelakaan tersebut kemudian menimbulkan krisis berkepanjangan (termasuk penyakit-penyakit genetik yang tak bisa disembuhkan) bagi Uni Soviet (sekarang Ukraina) yang—dipercaya banyak orang—menjadi salah satu faktor terkuat yang menentukan keruntuhan Uni Soviet. Ketika orang berbicara nuklir, mulanya orang berbicara tentang energi yang sangat besar dari materi yang sangat kecil. Nuklir seakan memberi solusi bagi permasalahan energi di bumi yang tak mau terus menerus menguras “nenek moyang” kita yang sudah berbentuk fosil. Nuklir juga awalnya dianggap “ramah lingkungan” karena bebas dari “polusi”. Namun, McCartney benar, pada akhirnya, semuanya adalah seimbang. Dari proses pemisahan inti uranium tersebut, kita bisa mendapatkan energi yang nantinya bisa menghidupi satu kota penuh dengan segala kegemerlapan malam, tanyangan televisi tanpa henti, dan industri yang terus menopang ekonomi. Tapi kita juga tak boleh terlena, energi bagaikan sebuah singa ganas, yang ketika berhasil dijinakkan bisa membawa rasa aman, namun ketika gagal, boleh jadi dia malah balik menyerang. Dan tidak seluruh umat manusia sudah yakin bahwa kita telah berhasil menjinakkan “seekor singa yang ganas” yang berwujud nuklir. Tapi waktu yang terus bergulir memaksa kita untuk terus membakar minyak dan batu bara, sementara keadaan ini tak bisa terus dibiarkan! Persediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis akibat terus digerus membuat kita harus menentukan sikap secara cepat. Entah didasari dengan matang atau sekedar nekat, akhirnya dunia berani bermain-main dengan nuklir. Setelah Chernobyl, dunia teringat kembali akan keganasan dari “raja hutan” yang satu ini. Nuklir bukan sebuah permen lolipop yang bisa dihisap tanpa perlu takut sewaktu-waktu bakal meledak. Nuklir harus digunakan dengan penuh waspada. Dan ketika dunia sudah merasa cukup waspada, alamlah yang bergerak. Dia “bangunkan” si “singa ganas” dari tidurnya. Membuat dunia kembali porak poranda. Dilanda ketakutan akan kanker atau kemandulan. Dengan terjadinya kecelakaan nuklir di Fukushima Dai-ichi, gelombang protes antinuklir mulai ramai dikoarkan oleh para pecinta kedamaian. Mereka menuntut dihapuskannya nuklir dari dunia. Sebuah bentuk protes yang peduli, namun apakah yang mereka koarkan telah mampu menjawab permasalahan energi dunia? Kini dunia sedang dipaksa untuk memilih. Entah mana yang bakal dipilih pada akhirnya, yang jelas, pesan McCartney sudah tegas: pada akhirnya, semuanya akan seimbang.


Kehidupan mana yang tak butuh air? Jika mungkin seekor onta tidak memerlukan pispot seperti halnya sekumpulan panda yang sama sekali tidak butuh sebuah pengraut pensil, tidak mungkin ada makhluk hidup yang tak butuh air. Setiap makhluk hidup pasti butuh air.
Untungnya Bumi punya banyak stok air. Hujan yang turun, sungai yang mengalir, serta danau yang tergenang menyediakan inti terpenting dalam kelangsungan kehidupan. Sayangnya, tidak setiap sudut di Bumi memiliki air yang berlimpah.
Sahara bukan untuk manusia
Bayangkan sebuah hamparan pasir yang begitu luas. Sesekali ada batu-batu besar yang tinggi menjulang, selebihnya tidak ada apa-apa di sana. Hanya hamparan pasir yang membentang, entah di mana batasnya.
Angin kering bertiup tidak membuat sejuk, sapuannya malah membuat kulit perih dilewati butiran pasir yang kecil namun tajam. Belum lagi dengan teriknya matahari dan tiadanya payung di sana, apalagi pohon rindang. Mungkin inilah yang dinamakan neraka dunia: Sahara.
Gurun pasir sama sekali tidak terlihat layak untuk ditinggali manusia. Alamnya yang ganas seakan merupakan bentuk pengusiran bagi setiap anak Adam yang hendak berkunjung ke sana. Sahara tidak menerima manusia.
Inti yang terpenting adalah air. Tanpa air, manusia tak akan mungkin bertahan hidup.
Benarkah tidak ada manusia di Sahara?
Di Libya barat daya, ada sebuah kawasan bernama Fezzan yang konon pernah dihuni oleh sekitar 100.000 manusia pada rentang masa antara 500 SM sampai 500 M. Jumlah ini adalah jumlah yang sangat banyak, apalagi untuk sebuah kawasan minim air seperti itu. Lalu, bagaimana manusia-manusia itu mampu bertahan hidup?
Jawabannya didapat dengan menggunakan pencitraan radar yang diambil dari luar angkasa. Sulit dibayangkan, Fezzan yang kini hanyalah hamparan pasir tandus dengan angin kering di mana-mana, dulunya merupakan sebuah danau raksasa yang seluas Inggris. Danau ini lantas dinamakan Danau Megafezzan.
Butiran permata di tengah gurun (foto © Dr. Simon Armitage, University of Oxford)
Setelah dilakukan observasi langsung, ternyata memang lokasi yang dulunya merupakan Danau Megafezzan dipenuhi dengan banyak batuan permata—beberapa berwarna ungu, sebagian lagi berwarna jingga akibat pengaruh mineral dan ganggang.
Danau inilah yang menjadi sumber air bagi sekelompok umat manusia yang pernah bersemayam di sana dulu.
Siklus kosong-isi Danau Megafezzan
Danau Megafezzan pernah menggenangi sebagian wilayah Sahara kurang lebih 200.000 tahun silam. Ketika itu curah hujan di sana masih tinggi.
Fezzan ketika masih basah (gambar oleh Nick Drake)
Air selalu menarik perhatian manusia. Akhirnya, 130.000 tahun silam mulai bermukimlah manusia pertama penghuni Fezzan. Namun alam tidak sepenuhnya ramah terhadap penghuni Fezzan. 70.000 tahun silam, manusia dipaksa mengungsi lagi akibat curah hujan mulai menurun lagi. Sejak masa itu, tingkat curah hujan di sekitar Danau Megafezzan menjadi tidak menentu. Hal itu jugalah yang menyebabkan manusia perlu untuk bolak-balik bermigrasi seiring perubahan iklim di sana.
Namun manusia tidak mau sepenuhnya bergantung pada alam. Mereka akhirnya meninggalkan pola berburu yang selama ini mereka jalani. Mereka mulai beternak, kemudian bertani. Sampai terbentuklah sebuah peradaban manusia di sana yang bernama Garamantian.
Masyarakat Garamantian hidup pada masa sejak kurang-lebih 5.000 tahun yang lalu. Mereka mengalami iklim yang serupa dengan kondisi Sahara saat ini. Namun mereka mampu menyiasati kekurangan air yang mereka alami dengan cerdik.
Mereka sudah sanggup membuat irigasi oase.
Dengan sistem irigasi yang mereka terapkan, mereka mampu mengaliri lahan-lahan mereka yang telah ditanami dengan berbagai budi daya tanam seperti kurma atau gandum. Mereka mengambil air dari air tanah dengan kanal bawah tanah yang dinamakan foggara/fughara. Sebuah tantangan besar untuk memastikan air yang diambil tidak berkurang akibat penguapan mengingat teriknya matahari tidak kenal ampun.
Memang—pada akhirnya—masyarakat Garamantian mati juga. Air tanah hasil tampungan hujan selama berribu-ribu tahun di sana akhirnya habis dipakai untuk keperluan irigasi. Pada masa itu, peradaban purba itu akhirnya runtuh. Namun—setidaknya—mereka telah mencoba melawan kerasnya alam sebelum akhirnya menyerah dan mati.
Garamantian tidak begitu saja menyerah pada keadaan.
Sudut lain dunia tempat air melimpah di sana
Lain lagi dengan Indonesia.
Indonesia beruntung punya alam yang tak seganas Sahara. Bahkan, alam di Indonesia terlalu ramah pada manusia-manusia penghuninya. Pohon-pohon tumbuh di mana-mana, tanahnya subur, dan hujan tak pernah absen terlalu lama dalam setahun.
Sawah hijau yang banyak ditemui di Indonesia (foto oleh Samuel Matthews, © 2005 National Geographic Society)
Makanya orang Indonesia makan nasi. Nasi adalah makanan pokok yang paling banyak membutuhkan air untuk penyajiannya hingga masak dan siap santap. Makanan paling cocok untuk negara yang diguyur hujan terus sepanjang tahunnya (kecuali beberapa daerah bagian timur).
Namun, apakah ini yang membuat kita menjadi bangsa yang pemalas? Tidak seperti masyarakat Garamantian yang perlu untuk berjuang dulu untuk bisa bertahan hidup kemudian.
Hanya karena telah mendapatkan pelayanan yang begitu enak dari Tuhan, tidak berarti kita tak butuh untuk berkembang, bukan? Indonesia yang terdiri dari hamparan tanah lempung atau pasir yang masing-masing ada gunanya tentu tak mau berhenti sebatas ini saja.
Seharusnya jika dengan kondisi alam serba terbatas, masyarakat Garamantian mampu bertahan hidup; Indonesia dengan kondisi alam serba berlebih harusnya mampu untuk swasembada pangan. Akan tetapi, kapan kita terakhir kali swasembada pangan?
Modal kita sudah banyak, kenapa kita masih tidak mau untuk maju? Karena jika kita tidak mau mengantisipasi kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, bukan tidak mungkin kita bakal binasa seperti peradaban Garamantian.

Nuklir dan Sepenggal Lirik Lagu The Beatles


Ketika menulis lagu “The End”, Paul McCartney ingin lagu tersebut diakhiri bait yang penuh arti, layaknya yang dibuat Shakespeare, dan hasilnya dia mendapatkan sebuah baris indah yang kini ramai dikutip orang di mana-mana:
“And, in the end, the love you take/ Is equal to the love you make.”
Baris tersebut terasa sangat indah untuk didengar maupun dilafalkan. Baris yang taat akan kaidah rima ini sungguh serasi untuk didengungkan. Goenawan Mohamad pernah bilang bahwa rima itu tak bisa dipaksakan. “Yang terbagus (seperti sajak Chairil), rima terbit dari rasa. Rasa yang menemukan ‘bunyi’,” katanya. Baris McCartney persis terasa seperti itu.
Tapi jauh di balik nilai seni yang terkandung, ada hal yang tak kalah penting: baris tersebut mengandung makna filosofis yang dalam.
McCartney—entah sadar atau tidak—sedang memberitahu kita tentang keseimbangan dalam hidup. Setiap tindakan melahirkan konsekuensi. Setiap usaha akan menerbitkan hasil. Setiap kejahatan telah ditunggu oleh ganjarannya masing-masing.
McCartney merangkum kekompleksan hukum sebab-akibat tersebut dalam sebuah analogi bernama cinta. Mungkin karena hanya cintalah yang dapat mencakup semua elemen sebab-akibat yang ada di muka bumi, atau jawabannya sesederhana: karena cinta mudah untuk dikomersialisasi.
Yang jelas, The Beatles memang sering menulis lagu cinta.
Namun, adakah kiranya yang dapat mengambil pelajaran dari sepenggal lirik terkenal ini untuk sebuah keputusan dari suatu permasalahan yang mempertaruhkan jiwa dari banyak manusia?
Memang belum tentu McCartney punya niat untuk menggurui ketika menciptakan baris terkenal itu. Bisa saja dia hanya sedang meracau dan sontak mendapatkan sebuah wangsit dari yang gaib. Tapi seharusnya, pelajaran tidak harus diambil berdasarkan niat dari yang mengajarkannya.
Ada sebuah cerita sedih dari negeri Jepang. Beberapa hari yang lalu, negeri mereka dilanda bencana gempa bumi dahsyat yang disebut Perdana Menteri Naoto Kan sebagai “krisis terberat dan tersulit Jepang dalam 65 tahun setelah akhir Perang Dunia II”. Imbas dari gempa tersebut tidaklah kecil: Pulau Honshu bergerak 2,4 meter ke timur; sumbu aksis bumi bergeser 10 cm; dan—salah satu dampak terbesar dan yang paling ditakutkan umat manusia—kebocoran radioaktif dari Pembangkit Tenaga Nuklir Fukushima I (sering disebut juga sebagai Fukushima Dai-ichi).
Awalnya, terjadi kegagalan dalam sistem pendingin di Dai-ichi. Kegagalan ini dapat berakibat fatal seperti terjadinya panas yang berlebih pada reaktor. Ketika kebocoran terjadi, ratusan ribu lebih warga langsung dievakuasi untuk diamankan dari polusi radioaktif.
Hal ini mengingatkan dunia pada memori buruk Chernobyl (1986). Ketika itu, terjadi kecelakaan nuklir (yang bermula dari sebuah uji sistem yang dilakukan di reaktor nomor 4). Kecelakaan tersebut kemudian menimbulkan krisis berkepanjangan (termasuk penyakit-penyakit genetik yang tak bisa disembuhkan) bagi Uni Soviet (sekarang Ukraina) yang—dipercaya banyak orang—menjadi salah satu faktor terkuat yang menentukan keruntuhan Uni Soviet.
Ketika orang berbicara nuklir, mulanya orang berbicara tentang energi yang sangat besar dari materi yang sangat kecil. Nuklir seakan memberi solusi bagi permasalahan energi di bumi yang tak mau terus menerus menguras “nenek moyang” kita yang sudah berbentuk fosil. Nuklir juga awalnya dianggap “ramah lingkungan” karena bebas dari “polusi”.
Namun, McCartney benar, pada akhirnya, semuanya adalah seimbang.
Dari proses pemisahan inti uranium tersebut, kita bisa mendapatkan energi yang nantinya bisa menghidupi satu kota penuh dengan segala kegemerlapan malam, tanyangan televisi tanpa henti, dan industri yang terus menopang ekonomi. Tapi kita juga tak boleh terlena, energi bagaikan sebuah singa ganas, yang ketika berhasil dijinakkan bisa membawa rasa aman, namun ketika gagal, boleh jadi dia malah balik menyerang. Dan tidak seluruh umat manusia sudah yakin bahwa kita telah berhasil menjinakkan “seekor singa yang ganas” yang berwujud nuklir.
Tapi waktu yang terus bergulir memaksa kita untuk terus membakar minyak dan batu bara, sementara keadaan ini tak bisa terus dibiarkan! Persediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis akibat terus digerus membuat kita harus menentukan sikap secara cepat. Entah didasari dengan matang atau sekedar nekat, akhirnya dunia berani bermain-main dengan nuklir.
Setelah Chernobyl, dunia teringat kembali akan keganasan dari “raja hutan” yang satu ini. Nuklir bukan sebuah permen lolipop yang bisa dihisap tanpa perlu takut sewaktu-waktu bakal meledak. Nuklir harus digunakan dengan penuh waspada.
Dan ketika dunia sudah merasa cukup waspada, alamlah yang bergerak. Dia “bangunkan” si “singa ganas” dari tidurnya. Membuat dunia kembali porak poranda. Dilanda ketakutan akan kanker atau kemandulan.
Dengan terjadinya kecelakaan nuklir di Fukushima Dai-ichi, gelombang protes antinuklir mulai ramai dikoarkan oleh para pecinta kedamaian. Mereka menuntut dihapuskannya nuklir dari dunia. Sebuah bentuk protes yang peduli, namun apakah yang mereka koarkan telah mampu menjawab permasalahan energi dunia?
Kini dunia sedang dipaksa untuk memilih. Entah mana yang bakal dipilih pada akhirnya, yang jelas, pesan McCartney sudah tegas: pada akhirnya, semuanya akan seimbang.

Di Balik Perang Melawan Qaddafi


Tak ada yang benar-benar tahu, siapa dalang di balik pemberontakan terhadap rezim Qaddafi di Libya. Mungkin, jawaban yang paling tepat adalah semua ini merupakan kehendak Tuhan Y.M.E.
Pemberontakan di Libya dipicu oleh gelombang protes yang memang sedang marak terjadi di Timur Tengah. Suksesnya revolusi terdahulu yang terjadi di Tunisia dan Mesir (yang masing-masing berhasil melengserkan rezim yang telah berkuasa untuk waktu yang lama) mungkin telah menginspirasi golongan anti-Qaddafi untuk menerapkan hal yang serupa di Libya.
Para pemberontak menjadikan Benghazi sebagai markas pusat mereka. Sementara Qaddafi dan antek-anteknya masih menguasai Tripoli. Kini, Libya seakan terpecah dua: daerah barat yang pro-Qaddafi dan daerah timur yang anti-Qaddafi.
Qaddafi menyebut para pemberontak sebagai “germs“—”kuman”. Dengan penuh kepercayaan diri, dia mengatakan bahwa mereka tak sepadan dengan bala tentaranya.
Menurut kabel diplomatik AS yang dibocorkan oleh situs WikiLeaks (atau dikenal dengan namaCablegate), Qaddafi merupakan “seorang pengatur siasat ulung yang telah mendominasi negara dan suku-sukunya yang sukar dikendalikan selama empat dekade dengan berhasil memanipulasi setiap orang yang berada di sekitarnya”. Sebagai orang yang menjadi pemimpin Libya setelah melancarkan kudeta terhadap pemimpin sebelumnya, Raja Idris I, tentu Qaddafi tak akan mudah untuk digulingkan kembali.
Sementara para pemberontak adalah orang-orang yang tak jelas pada arah dan komando. Anthony Cordesman, seorang analis militer di Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berlokasi di Washington, berujar, “Yang kita punya, secara mendasar, adalah pemberontak dengan antusiasme yang besar dan mau menanggung risiko hidup mereka, namun tidak punya disiplin atau struktur.” Dan orang-orang seperti ini menghadapi jagoan perang seperti Kolonel Qaddafi.
Walau tak ada yang benar-benar tahu, kebanyakan orang akan menjawab tiga nama sebagai dalang dari revolusi melawan Qaddafi ini. Nama pertama adalah Abdel Fatah Younis, bekas Menteri Dalam Negeri kabinet Qaddafi. Yang kedua adalah Omar Hariri, jenderal yang pernah gagal menggulingkan Qaddafi pada revolusi di tahun 1975. Atau mungkin dia adalah Khalifa Heftir, seorang yang memang mahsyur sebagai “pahlawan oposisi” dan dikenal sebagai juru bicara pihak oposisi. Namun, para pemberontak kebanyakan tak akan begitu peduli pada siapa pemimpinnya, asal mereka semua berjuang untuk melawan yang satu: Sang Kolonel Qaddafi.
Sekilas, pihak oposisi terlihat lemah dibanding kekuatan Qaddafi dan para loyalis. Namun, pihak oposisi tak hanya mengandalkan kekuatan rakyat sipil yang sebelumnya belum pernah memegang AK-47 atau tentara yang membelot dan hanya berjumlah beberapa. Barat kini sudah ikut campur dalam konflik Libya. Bantuan dalam bentuk sokongan militer telah dikirimkan ke sana. Wujudnya bisa macam-macam: senjata, makanan, bahan bakar, atau pasukan. AS, Perancis, dan Inggris sudah mulai melemparkan bomnya di sana-sini.
Tentu, oposisi akan sangat terbantu dengan datangnya bantuan dari luar ini. Namun, ketulusan niat dari Barat dalam membantu menjadi dipertanyakan. Apakah dasar dari tindakan Barat dalam membantu revolusi Libya ini memang murni karena alasan kemanusiaan?
Banyak teori berkembang yang mengatakan bahwa fenomena di Libya saat ini mengukuhkan apa yang dinamakan paradoks “kutukan sumber daya”—yang terjadi di saat kekayaan hanya menjadi sumber petaka. Sebuah paradoks yang sering menjadi alasan utama para kolonial untuk menjajah tanah-tanah milik pribumi setempat, menguras segala apa yang ada di atas bumi maupun yang ada di bawahnya.
Seperti yang mungkin sedang terjadi di Libya saat ini. Gara-gara minyak.

Awal Mula Berdirinya Manusia


Masalah tentang kehidupan manusia sering mengusik pikiranku. Satu di antaranya yang menjadi langganan adalah tentang sejarah awal mula berdirinya manusia di muka bumi ini.
Darwin mencoba menerangkannya lewat teori evolusi. Tapi lantas banyak kalangan agamis yang langsung menyanggah teori ini mentah-mentah. Lalu mulai muncul kalangan ilmuwan yang ikut menyanggahnya dengan alasan ini dan itu.
Untuk menelusuri bagaimana terciptanya manusia di muka bumi ini, ada baiknya kita menelusuri terlebih dahulu bagaimana genus Homo dapat terbentuk di muka bumi ini. Beberapa kalangan menilai ini dimulai dari pecahnya spesies kera di Afrika. Salah satu dari spesies kera tersebut mulai berjalan dengan dua kaki, ini mengindikasikan bahwa bentuk tubuh mereka mulai menyerupai manusia. Tidak hanya itu, ukuran otak mereka juga bertambah besar dan mereka mulai dapat memanfaatkan benda-benda seperti batu atau tulang sebagai alat untuk membantu perburuan. Spesies kera inilah yang diperkirakan akan berkembang dan menyandang predikat genus Homo. Namun teori kemunculanHomo di Afrika ini masih bersifat terlalu spekulatif karena ditemukannya Homo-homo lainnya yang terdapat di wilayah yang berbeda dan tidak memiliki hubungan keturunan dari Homo yang di Afrika.
Tapi ada keunikan lain yang memberi petunjuk bahwa manusia memang berasal dari Afrika. Petunjuk ini didapat dari penelitian tentang keanekaragaman DNA manusia di seluruh dunia. Setelah diteliti, ternyata Afrika merupakan benua yang memiliki tingkat keanekaragaman DNA terbesar di dunia. Sementara tingkat keanekaragaman di belahan dunia yang lain dapat dikatakan nyaris sama. Apa artinya ini? Ini memberi petunjuk pada kita bahwa kelompok-kelompok manusia awal berasal dari Afrika dan sebagian besar dari mereka tetap menetap di sana. Namun ada beberapa kelompok yang mencoba untuk pergi mengembara menuju luar Afrika. Kelompok ini hanyalah sebagian kecil dari kelompok manusia di Afrika pada saat itu. Karena kelompok yang pergi keluar Afrika hanya sebagian kecil saja, maka perkawinan yang terjadi pun hanya di antara kelompok kecil tersebut. Sehingga tingkat keanekaragaman DNA di luar Afrika menjadi tidak terlalu beragam. Ditemukannya fosil manusia modern tertua di Omo Kibish, Ethiopia, mendukung teori ini. Fosil ini diperkirakan berumur 195.000 tahun.
Penelitian lain yang masih seputar DNA manusia adalah penelitian tentang mitokondria dan kromosom Y. Mitokondria, salah satu organel sel yang terdapat dalam setiap sel manusia murni diturunkan oleh ibu kepada anaknya. Tidak pernah ditemukan kasus bahwa seorang ayah menurunkan mitokondria kepada anaknya. Sedangkan kromosom Y hanya dimiliki oleh laki-laki saja. Inilah kromosom yang menentukan jenis kelamin seorang manusia. Susunan kromosom manusia normal adalah XX atau XY. Satu kromosom X pasti disumbangkan oleh sang ibu, tapi seorang ayah bisa menyumbangkan kromosom X atau kromosom Y. Maka jika seorang anak laki-laki muncul dari suatu perkawinan maka kromosom Y yang dimiliki si anak pasti berasal dari ayahnya.
Ilmuwan mulai meneliti jejak dari DNA mitokondria (mtDNA) dan kromosom Y ini. Ternyata setelah banyak penelitian dilakukan dicapailah sebuah kesimpulan bahwa seluruh mtDNA di setiap manusia di muka bumi ini berasal dari seorang ibu yang sama yang berasal dari Afrika. Begitupun juga dengan seluruh kromosom Y di setiap anak laki-laki di bumi ini, yang ternyata juga berasal dari seorang ayah yang sama, juga dari Afrika.
Ilmuwan menyebut kedua pasangan ini bukanlah satu-satunya “laki-laki dan perempuan” yang hidup pada masa itu, namun penelitian ini telah menunjukkan bahwa terdapat satu rantai yang tak terputus yang berasal dari sepasang manusia hingga menjadi populasi manusia di bumi sekarang ini yang jumlahnya mencapai ratusan juta.
Mari kita kaitkan kesimpulan dari penelitian ini dengan agama. Mungkinkah perempuan yang mewarisi mtDNA ke setiap perempuan di bumi pada saat ini adalah Hawa dan apakah laki-laki yang menurunkan kromosom Y-nya ke setiap anak laki-laki saat ini adalah Nabi Adam?
Sejak kecil aku diajarkan bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama di bumi. Tapi benarkah itu?
Saat aku masih menginjak masa SMA salah satu guruku pernah menyebutkan bahwa Nabi Adam bukanlah manusia pertama. Pada saat itu, bagiku ini adalah pernyataan yang lumayan kontroversial. Dan aku suka sekali dengan kontroversi.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” – Q.S. Al-Baqarah: 30.
Di sini ada keanehan ketika para malaikat kelihatan sedikit memprotes keputusan Allah untuk menurunkan Adam ke muka bumi. Padahal malaikat hanya melakukan apa yang telah diperintahkan Allah. Ini, mungkin, mengindikasikan bahwa sebelumnya pernah ada “manusia” sebelum Nabi Adam yang diturunkan ke bumi. Dan berdasarkan ayat itu juga diperlihatkan bahwa “manusia” tersebut selalu berbuat kerusakan dan saling menumpahkan darah. Kalau teori ini benar bisa jadi yang dimaksud adalah spesies Homo yang lainnya yang belum mencapai fase manusia modern (Homo sapiens).
Sebelum ayat-ayat yang menceritakan penciptaan Adam dari tanah liat juga terdapat ayat yang isinya:
“Dan sungguh, Kami mengetahui orang yang terdahulu sebelum kamu dan Kami mengetahui pula orang yang terkemudian.” – Q.S. Al-Hijr: 24.
Siapa “orang yang terdahulu”? Dan siapa “orang yang terkemudian”?

Sejarah awal AC Milan



logo_20ac_2dmilanSejarah AC Milan terbentuk  pada 16 Desember 1899. Ialah yang menjadi pahlawan sebagai peendiri atau juga bias disebut sebagai pembentuk AC Milan FC yakni ke-3 orang Inggris : Herbert Kilpin, Allison, serta Davies yang member gagasan dan ide-ide cemerlang untuk mendirikan AC Milan Football Club. Namun Sayang, ketiga pencetus ide tersebut itu tak punya cukup uang untuk merealisasikan ide mereka. Maka, dirangkullah Alfred Edwards dan Mr. Barnetts yang cukup kaya dan diharapkan mau dan mendukung gagasan dan ide-ide mereka untuk mendirikan klub AC Milan Football Club yang diharapkan akan menjadi kebanggaan dan mampu menjadi club yang terbaik di dunia. Milan pun resmi berdiri dengan nama Milan Cricket and Football Club. Penambahan kata olahraga cricket ini lantaran Edwards yang terpilih sebagai presiden pertama punya misi memperkenalkan cricket selain sepakbola.
Tak lama kemudian, Milan mendaftarkan diri di Italian Football Federation supaya bisa mengambil bagian dalam turnamen resmi. Debut pertama diawali dengan kemenangan 2-0 melawan Mediolanum,merupakan sebuah kebanggaan dan pembuka semangat untuk terus maju ke langkah berikutnya( klub yang juga berasal dari Milan). Sebelas pemain yang diturunkan pada partai itu, kini tercatat dalam sejarah dengan tinta emas : Hoode, Cignaghi, Torreta, Lees, Kilpin, Valerio, Dubini, Davies, Neville, Allison, dan Formenti. Sang pelopor, Kilpin menjadi kapten sekaligus manajer pemain.

masa awal pecahnya AC Milan

Milan berhasil meraih scudetto pertamanya pada tahun 1901. Ini termasuk rekor gemilang sebab Rossoneri sukses mematahkan dominasi Genoa yang sejak liga digelar musim 1897-98 menjadi juara tiga kali berturut-turut. Usai mencatat scudetto mereka yang ketiga pada tahun 1907, Milan mengalami penurunan prestasi. Hal ini disebabkan karena terjadi perpecahan di tubuh Milan. disebabkan karena sebagian tim mendirikan klub tandingan sebagai wujud rasa protes mereka lantaran Milan membatasi keanggotaannya (pada awal berdiri, Milan hanya menerima pemain Italia dan Inggris saja). Milan pun pecah, sebagian anggota yang menyatakan keluar mendirikan Internazionale Football Club Milano pada 9 Maret 1908.

Bangkitnya Ac-Milan

Defender AC Milan,tiga andalan sejati baru AC Milan yang dapat merubah nasib ialah mereka   Thiago Silva, Ronaldinho dan Alexandre Pato punya kedapatan menciptakan perbedaan. bila keduanya dapat konsisten menjaga performa terbaik, Milan akan bangkit dari keterpurukan. Sejak Serie-A musim dahulu bergulir, Milan tercatat meraih dua kemenangan, dua kali kalah, dan tiga kali imbang. Akibatnya, mereka terjatuh jauh dari papan atas klasemen. Mereka kini menempati posisi pada peringkat ke-12 dengan koleksi sembilan poin atau berselisih tujuh angka dari Inter Milan di puncak klasemen..
Milanisti (supporter sejati AC Milan) mempunyai anggapan bahwa, Milan dapat menghindari kondisi buruk ini seandainya mereka mau merogoh uang yang cukup untuk memperbarui setiap lini dengan pemain baru yang mumpuni. Selain itu, Milan seharusnya tidak memercayakan tim yang sedang goyah ini kepada pelatih debutan, seperti Leonardo. Silva tidak sependapat dengan itu. Menurutnya, dengan komposisi seperti sekarang, Milan dapat bangkit dan kembali ke jalur juara. Ia yakin, kondisi akan lebih menjadi baik, bila lini depan Milan menemukan ketajaman dan ketepatan mereka serta tugas itu berada di pundak Ronaldinho dan Pato.
“Ronaldinho adalah pribadi yang baik dan kami adalah teman di dalam dan luar lapangan. Selalu menjadi positif jika bersamanya. Kami bersama-sama di periode sulit ini. Tapi, jika Ronaldinho dan Pato bermain dengan baik, maka Milan akan kembali ke kejayaanya,” tegas Silva. Sayangnya seorang ronaldinho ialah striker yang memiliki naluri untuk membawa bola sendiri dengan skill-skill tingginya dan jarang pula untuk mengumpan dengan kawan depannya sehingga kurang terjadinya kerjasama yang baik di lini depan seperti pato.